Minggu, 28 Maret 2010

Pengajaran Bahasa Berbasis Budaya

Belajar bahasa tidak semata mengenal struktur bahasa. Lebih dari itu, mempelajari eksternal bahasa dan budaya. Nilai-nilai budaya dikenalkan melalui bahasa. Tidak serta merta pembelajar bahasa mengikuti budaya bahasa yang dipelajari dan meninggalkan budaya asalnya. Namun, hal tersebut tidak mustahil terjadi bila tidak dilakukan langkah-langkah antisipatif. Terlebih lagi, dewasa ini, pergeseran nilai, norma dan budaya kian menggejala di tanah air. Keluhuran dan keadiluhungan budaya nasional terus terkikis. Sebelumnya, bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun, memiliki semangat gotong royong dan berbudaya. Namun, pelabelan ini tidak lagi melekat. Kini, keaakraban personal dan kolektif semakin merenggang. Rasa keakuan dan “kedaerahan yang fanatik” semakin menguat. Semangat nasionalisme dengan penguatan integrasi bangsa juga semakin melemah. Orientasi pada materi, hedonis dan instan semakin memenuhi ruang kebudayaan bangsa. Himpitan nilai-nilai keetnikan, tekanan internal budaya nasional dan hempasan budaya global menjadikan pijakan budaya negeri kian rapuh. Tak mustahil, bangunan budaya nasional, seketika dan secara evolutif bisa runtuh. Karenanya, pijakan bangunan budaya nasional perlu dikuatkan melalui dunia pendidikan. Salah satunya melalui pengajaran bahasa dalam pelbagai tingkatan pendidikan. Pengajaran bahasa kedua yang dipijaki dengan nilai-nilai keetnikan ini perlu, pertama; untuk mengenalkan konsep-konsep filosofis, relijius dan sosio-kultural dari pelbagai etnik di nusantara. Dalam prosesnya, pembelajar bahasa menghargai budaya bahasa kedua dengan tidak mengeyampingkan budaya asalnya (bahasa daerah/bahasa ibu). Sebaliknya, kebanggaan berbahasa akan muncul dari pembelajar bahasa. Mereka akan semakin menyadari khasanah kekayaan budaya keetnikan di nusantara yang merangkai budaya nasional. Dalam pendekatannya, pengajar bahasa kedua perlu mengetahui latar belakang sosial anak didiknya (baca ekologi pengajaran) khususnya dalam kelas yang memiliki keberagaman ideologi-sosio-kultural. Sudah barang tentu, pertemuan dan interaksi bahasa tambah budaya tersebut (keberagamaan situasi) tidak bisa dihindarkan. Untuk itu, diperlukan kemauan, komitmen, konsistensi, kreativitas dan kerja keras dari pengajar bahasa terutama dalam pengayaan materi pengajaran bahasa. Dengan demikian, materi pengajaran bahasa kedua dikuatkan pula dengan pengenalan kearifan-kearifan lokal dari pembelajar bahasa. Hal tersebut tidak terlepas dari keseharian dan lingkungan pembelajar bahasa yang mengandung nilai-nilai moral, etika, religius, spiritual, dan sosio-kultural. Dalam pengenalan sebuah kata atau frasa misalnya. Bentukan filosofis, sosio-kultural bahasa kedua tentu berbeda dengan bahasa ibunya. Terlebih-lebih, dalam mempelajari bahasa asing. Konsekuensinya, pembelajar bahasa mengalami hambatan dalam memaknai dan menjiwai kata tersebut. Demikian halnya dalam pengenalan wacana. Sudah barang tentu akan semakin rumit dengan permasalahan yang semakin kompleks. Dalam pencarian dan pengayaan materi pembelajaran bahasa perlu penyesuaian yang didasarkan pada aspek ekologis (lingkungan berbahasa). Materi di daerah kepulauan dan pesisir akan jauh berbeda dengan daerah penugungan, dan sebaliknya. Lebih khusus lagi, untuk satu daerah saja, perbedaan tersebut akan semakin kelihatan bila dikaji-banding secara mendalam. Lebih dari itu, soal penyampaian dan perkembangan pembelajar bahasa harus menjadi perhatian yang sungguh-sungguh. Perlu pendekatan personal yang menyentuh nilai dan rasa dari pembelajar bahasa. Saat yang bersamaan, dedikasi dan loyalitas pengajar bahasa tersebut perlu mendapat perhatian, dukungan dan penghargaan dalam pelbagai bentuk dari semua pihak. Dengan demikian, pengajar bahasa dan umumnya tenaga pendidik dapat fokus dan maksimal dalam menjalankan tugasnya. Dengan upaya tersebut, proses pembelajaran bahasa semakin interaktif, efektif, efisien dan berdaya guna dalam hal pengenalan budaya. Pembelajar bahasa juga, semakin mudah dalam memahami materi yang diajarkan. Karena tidak lepas dari keseharian dan senantiasa melekat dalam kognisinya. Ekologi pengajaran yang demikian bukan hanya mementingkan aspek kognitif, melainkan menumbungkembangkan aspek motorik, psikomotorik dan afektif anak didik. Pada akhirnya, akan memunculkan generasi bangsa yang berciri, kaya, bangga dan kuat di tengah hempasan arus budaya luar. Kedua, untuk memertahankan budaya nasional. Di tengah interaksi bahasa, berakibat pada persaingan bahasa, yang berdampak luas pada persaingan budaya secara holistik. Ada bahasa yang menang, bertahan dan kalah. Bahasa yang menang menunjukkan hegenomi dan dominasi dalam penggunaannya. Yang bertahan, dengan pijakan yang rapuh, dengan sekuat tenaga berjalan tertatih dalam mewariskan bahasa dan budaya-nya. Sementara yang kalah, tercancam punah, bahkan hilang dalam persaingan budaya yang berlangsung. Dalam kaitan tersebut, bahasa ibu dengan budaya yang merangkainya senantiasa terlindungi dan bahasa Indonesia dengan setia mendampingi bahasa-bahasa daerah. Sementara itu, bahasa asing berperan dalam pengenalan dan pengkomunikasian bahasa-bahasa daerah dan nasional dalam tataran global. Ketiga, untuk mewariskan budaya nasional kepada generasi penerus bangsa. Alangkah sayangnya, ratusan bahasa dan kekayaan budaya di tanah air hilang. Terlebih-lebih, dengan perubahan iklim dunia yang turut menekan lingkungan dan mendorong percepatan pelbagai perubahan budaya. Dalam perspektif ekolinguistik, yang menelaah tautan antara ekologi (ekosistem) dan linguistik (ilmu kebahasaan), nilai-nilai kearifan bangsa tadi perlu dikuatkan, yaitu melalui pengajaran dan pembelajaran bahasa. Lebih khusus lagi, pengalihbudayaan yang ditujukan kepada generasi muda. Satu sisi, pembelajar bahasa dikenalkan dengan bahasa dan budaya luar. Di sini lain, mereka tetap menghargai dan menjaga bahasa serta budaya keetnikan dan bangsanya. Dengan begitu, generasi bangsa ini kini dan mendatang semakin kuat dan bangga dengan identitas ke-Indonesian-nya. Yusradi Usman al-Gayoni (Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara) Sumber: http://v2.theglobejournal.com/kategori/opini/pengajaran-bahasa-berbasis-budaya.php (20 Februari 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar